Senin, 10 Oktober 2011

Kehamilan Ektopik

iklan1
Kehamilan Ektopik:
I. PENDAHULUAN 
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. Karena janin pada kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan. 
Angka kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Insiden ini mewakili satu kecenderungan peningkatan dalam beberapa dekade ini. Diantara faktor-faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba, dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi. Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11% kematian maternal terjadi di Amerika Serikat. 
Sekurangnya 95 % implantasi ekstrauterin terjadi di tuba Fallopii. Di tuba sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis dapat juga terkena. Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang ditemukan. 
Sebagai suatu keadaan yang mengancam kehidupan, kehamilan ektopik menuntut para ahli kebidanan untuk mengetahui metoda-metoda pengobatan yang mutakhir. Meskipun penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik adalah dengan pembedahan, tetapi saat ini mulai dikembangkan penatalaksanaan dengan obat-obatan yaitu dengan methotrexate. Metoda ini tampaknya efektif dan cukup aman sehingga dapat menjadi metoda alternatif pada pengobatan kehamilan ektopik. Tetapi tidak semua pasien yang didiagnosis dengan KE harus mendapat terapi medisinalis dan terapi ini tidak 100% efektif. Para dokter harus memperhatikan dengan hati-hati indikasi, kontraindikasi dan efek samping dari terapi medisinalis.  

II. PATOFISIOLOGI ENDOKRIN 
Integritas embrio, sebagai suatu pertumbuhan dari satu zygot menjadi struktur blastokis yang berlekuk, yang dilindungi oleh zona pelusida. Membran glikoprotein yang tebal ini mencegah terjadinya adhesi prematur antara embrio dan endosalping. Blastokis harus keluar dari zona pelusida sebelum terjadi implantasi. Normalnya, proses pengeraman blastokis terjadi di kavum uteri, biasanya terjadi dalam 7 hari setelah ovulasi dan fertilisasi. Jika transportasi ovum terhambat, proses pengeraman terjadi di tuba falopii. Penyebab gangguan transportasi ovum yang telah dikenal yaitu penyakit pada tuba, seperti salpingitis kronis atau adhesi perituba. Salpingitis dapat memperburuk mekanisme transportasi ovum melalui proses rusaknya myosalping dari dinding tuba dan melalui kerusakan pada endosalping, yang akan mengurangi jumlah silia tuba. 
Perubahan pada siklus endokrin yang mempengaruhi tuba fallopii dapat menyebabkan aberasi dalam transportasi ovum, yang akan membawa pada proses pengeraman dan implantasi blastokis di tuba. Steroid ovarium yang berperan menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4), kedua hormon ini berpengaruh kuat pada tuba fallopii, mempengaruhi setiap aspek pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi. Respon kuantitatif dan kualitatif dari tuba terhadap hormon lain seperti katekolamin dan prostaglandin, juga berubah terhadap kadar hormon steroid dalam darah yang bisa ditolerir. Perubahan siklik pada struktur tuba dan fungsinya dipengaruhi oleh hormon steroid ovarium ini, yang bekerja melalui reseptor sitoplasmik spesifik yang secara kimiawi sama dengan reseptor yang ditemukan pada bagian lain dari traktus genitalia. 
Pada telaah terhadap data-data penelitian yang ada, Jansen menyimpulkan bahwa hormon steroid ovarium mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik dan kepekaan, melalui perubahan-perubahan dalam sintesis prostaglandin, degradasi, dan kepekaan, dan melalui pengaruh langsung pada myosalping. Peningkatan aktivitas kontraksi dipercayai merupakan proses mediasi E2, dimana P4 diperkirakan mempunyai pengaruh tersembunyi pada otot-otot tuba. Karena itu, perubahan siklik dalam kadar hormon membawa kepada peningkatan tonus ismika saat terjadi ovulasi dan selama 1 – 2 hari berikutnya. Ini adalah periode dimana ovum tertahan di 


ampula dan tertunda untuk memasuki isthmus. Pengaruh P4 menjadi berkembang pada awal fase luteal, transportasi ovum ditingkatkan melalui mekanisme siliar, dan pergerakan blastokis menuju ke dalam kavum uteri, dimana implantasi normal yang seharusnya terjadi. 
Perbedaan sel-sel silia dari tuba falopii, termasuk siliogenesis, merupakan proses E2-dependent yang berlawanan dengan P4. Penelitian dengan menggunakan transmisi mikroskopik elektron (TEM) telah mencatat bahwa siliogenesis mengambil tempat selama fase proliferasi, dan sel-sel silia matur hanya tampak pada pertengahan siklus. Bersama-sama Desiliasi dan atrofi, peningkatan P4 postovulasi, dimana 10% sampai 20% dari sel-sel mengalami kehilangan silianya. Selama fase folikuler berikutnya, sel-sel ini memperlihatkan regenerasi silial. Verhage dkk. menyimpulkan bahwa siliogenesis adalah satu proses yang sensitif terhadap kadar E2 rendah. Sesungguhnya, kadar E2 cukup tinggi selama keseluruhan stadium siklus menstruasi manusia untuk mempertahankan sel-sel silia. Selama fase luteal, meskipun, P4 dapat memblok pengaruh E2, dan fase penyembuhan (recovery) memerlukan P4 withdrawal. 
Pada mukosa tuba manusia, frekuensi denyut silia meningkat 18% selama fase luteal. Setelah ovulasi, terjadi peningkatan yang kritis dalam ampula dan isthmus dan tergantung pada adanya P4 dalam lingkungan E2 yang tinggi. Perubahan dari lingkungan hormonal yang didominasi E2 ke lingkungan yang di dominasi P4 secara temporer membawa kepada perubahan-perubahan ultrastruktural yang menghasilkan peningkatan frekuensi denyut silia dalam hubungan dengan transportasi ovum. Paparan yang lebih lama terhadap efek antagonis dari P4 diluar periode transport kemungkinan disebabkan regresi silia. 
Tidaklah mengherankan, bahwa perubahan utama dari kadar E2 dan P4 preovulasi diharapkan akan memisahkan mekanisme transportasi ovum kompleks dan berpotensi menunda transit ovum. Sebagai contoh, insiden yang tinggi dari kehamilan tuba telah dilaporkan terjadi selama hiperstimulasi ovarium oleh gonadotropin eksogen dan selama pemberian progesteron dosis rendah. Progesteron eksogen, yang dihantarkan melalui oral atau melalui alat kontrasepsi dalam rahim, dapat mengurangi resistensi tuba falopii terhadap implantasi ektopik melalui berbagai mekanisme. Silia akan menghilang dan myosalping boleh jadi tidak bergerak. Sebagai tambahan, sekresi tubal anionik, yang dapat memiliki fungsi lubrikasi bagi transpor ovum sama baiknya dengan kualitas implantation-resisting lainnya., tidak ditemukan dari tuba. 
Gangguan hormonal primer yang terjadi selama hiperstimulasi oleh ovarium masih belum jelas. Kadar E2 sirkulasi yang tinggi mungkin berperan. Kemungkinan, kadar yang meningkat bercampur dengan peningkatan P4 atau pengaruh-pengaruhnya pada tuba, karena itu melemahkan transpor ovum. Laufer dkk., meskipun, telah menyimpulkan konsentrasi lokal yang tinggi dari P4 merupakan penyebab dari nidasi tuba selama pemberian induksi superovulasi. Peneliti ini mempelajari produksi steroid oleh sel-sel korona kumulus, yang masih melekat pada oosit yang dibuahi selama 2 sampai 3 hari setelah ovulasi selama perjalanannya di tuba. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan lokal kadar P4, sebagai hasil dari produksi kompleks oosit-korona-kumulus multipel (OCCC), memungkinkan ovum mengalami implantasi ektopik melalui pergantian dalam motilitas tuba. 
Implantasi blastokis di tuba mungkin disertai dengan produksi hCG yang cukup untuk mempertahankan korpus luteum. Tergantung kepada kadar produksi P4, dua akibat mungkin terjadi. Penurunan kadar P4 akan membawa kepada menstruasi dan peningkatan kontraksi myosalping, yang dapat mengeluarkan embrio ke ujung fimbria. Apakah kehamilan ektopik akan tetap in situ, meskipun, produksi P4 trofoblast dapat membawa kepada keadaan localized myosalpingeal quiescence. Pertumbuhan lebih lanjut dari kehamilan akan menyebabkan ruptur tuba. 

III. DIAGNOSIS 
A. Diagnosis Klinik 
Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi  bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik. 
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik. Frekuensi dari kehamilan ektopik konkomitan dan kehamilan intrauteri dalam satu konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik. Karena perbedaan ini, logikanya untuk mendiagnosis kehamilan ektopik adalah untuk diagnosis yang terarah dan prosedur pembedahan pada wanita yang tidak memiliki kehamilan intrauteri yang viabel. 

B. Petanda Trofoblastik 
Berdasarkan totipotensial alami dari trofoblas, tidaklah mengherankan bahwa jaringan ini mensekresikan sejumlah subtansi yang bervariasi, termasuk beberapa protein yang kelihatannya unik bagi kehamilan. Tiga macam protein telah diteliti secara luas sebagai petanda yang potensial dari kehamilan yang viabel. Ketiga macam protein ini dapat digunakan dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik.  

1. Human Chorionik Gonadotropin 
Human Chorionik Gonadotropin (hCG) memiliki berat molekul 36.000 sampai 46.000, adalah satu glikoprotein yang secara biologi dan imunologi mirip dengan luteinizing hormone (LH). Waktu paruh hCG kelihatannya lebih besar daripada LH (5 - 40 jam dibandingkan 1- 2 jam). Keadaan ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa penting untuk membedakan struktur molekul yang ada antara kedua substansi ini dengan aksi biologis yang serupa. Sebagai contoh, Kadar asam sialat dari hCG adalah lebih besar daripada LH. Lebih jauh, 28- 30 asam amino terminal pada ujung karboksi dari subunit β glikoprotein mewakili deretan yang unik yang membedakan molekul ini dari LH. Semua hormon glikoprotein, hCG, LH, FSH, TSH, membagi dengan dekat subunit α identik, yang secara esensial dapat dipertukarkan. subunit α ini dapat direkombinasikan dengan setiap empat subunit β yang berbeda untuk membentuk satu produk yang memiliki ciri aktivitas biologik komponen subunit β. hCG diproduksi oleh sinsitiotrofoblas selama kehamilan, juga dibuat oleh jaringan trofoblastik jenis lain, termasuk yang berasal dari chorioadenoma destruens, choriocarcinoma, dan mola hidatidosa. 
Produksi ektopik dari hCG telah dicatat dengan baik dan telah diidentifikasi dalam plasma orang dewasa normal yang tidak hamil. HCG tampaknya berfungsi sebagai satu hormon luteotrofik selama kehamilan. Hormon ini mempertahankan korpus luteum, karena itu menghasilkan produksi P4 yang berkelanjutan yang diperlukan untuk pertumbuhan endometrium sampai plasenta mengambil alih perannya. Sebagai tambahan, data yang didapat Jaffe mengatakan bahwa hCG dapat maengatur produksi steroid dalam fetus, termasuk produksi dehidroepiandrosteron sulfat (DHA-S) oleh kelenjar adrenal fetus dan produksi testosteron oleh testis. HCG dapat dideteksi dalam kehamilan spontan setelah hari ke-9 LH surge. Deteksi awal dalam darah ibu telah ditemukan memiliki korelasi dengan implantasi blastokis dan secara spesifik dengan saat lakuna menerima aliran darah ibu. 
 Pada kehamilan awal, hCG kelihatannya disekresikan dalam bentuk episodik dan pulsatil, yang paralel dengan sekresi progesteron. Fluktuasi ini telah diperlihatkan pada penentuan dari kedua kadar serum hCG secara imunoaktif dan bioaktif. Dengan demikian pola sekresi menyarankan adanya stimulasi yang intermiten terhadap corpus luteum oleh hCG dan adalah dalam kesepakatan dengan efek stimuilasi yang telah diketahui dari pelepasan gonadotropin secara pulsatil atas sekresi steroid ovarium. Meskipun dobling time kadar plasma hCG telah diasumsikan konstan dalam awal kehamilan intrauteri normal, jangkauan yang telah dilaporkan bervariasi antara 1,3 – 3,3 hari. Sebagai contoh, Lenton dkk. Telah menyimpulkan bahwa dobling time 1,3 hari berhubungan dengan dobling time yang diketahui dari massa sel trofoblastik. 
Penelitian yang dilakukan Pittaway dkk. Mengantarkan isu mengenai variabilitas. Mereka memperlihatkan bahwa laju eksponensial dari peningkatan konsentrasi serum hCG adalah tidak konstan selama minggu-minggu pertama postmenstruasi dari kehamilan normal. Pada kenyataannya, dobling time dari deteksi awal hCG sampai kira-kira hari ke-35 setelah onset periode menstruasi terakhir yang diobservasi adalah 
1,4 – 1,6 hari. 

2. Human placental lactogen (hPL) 
Human placental lactogen (hPL) merupakan polopeptid rantai tunggal dari asam amino 190 dengan dua jembatan disulfid. Protein ini 96% homolog dengan hormon pertumbuhan. HPL juga dikenal sebagai human chorionic somatotropin (hCS). Selain bermakna secara struktural homologi , hPL memiliki aktivitas somatotrofik hormon pertumbuhan kurang dari 3%. Pada penelitian terhadap binatang, telah ditemukan untuk menampilkan 50% dari aktivitas laktogenik dari prolaktin (PRL). HPL disintesis oleh lapisan sinsitiotrofoblas dari plasenta. Tidak hanya dapat dideteksi dalam urin dan serum pada kehamilan normal atau mola, tetapi juga telah dapat ditemukan pada urin pasien dengan tumor trofoblastik dan pada laki-laki dengan choriocarcinoma pada testis. HPL memiliki waktu paruh 14 – 29 menit. Kadar protein ini dalam sirkulasi telah dihubungkan dengan berat janin dan berat plasenta, kadar yang beredar dalam darah meningkat 10 kali atau lebih besar dari trimester pertama ke trimeser ketiga. Tidak ada variasi circadian. Selam 4 minggu terakhir kehamilan, kadar hPL mendatar. HPL dengan cepat menjadi tidak terdeteksi dalam serum dan urin setelah lahirnya plasenta atau evakuasi uterus. 
Kaplan dkk. Telah mempelajari hPL secara luas dan mengajukan bahwa efek metabolik yang utama selama kehamilan adalah menambah kebutuhan nutrisi janin. Sebagaimana menurunnya suplai glukose selama keadaan kelaparan, kadar hPL meningkat, yang akan menstimulasi proses lipolisis. Satu alternatif dari sumber energi ini disiapkan untuk ibu dengan cara meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah. Konsekuensinya, glukose dan asam amino dapat diantarkan bagi janin. Selama keadaan kenyang dan dalam respon terhadap peningkatan kadar glukose, sekresi insulin meningkat dan sekresi hPL menurun, membawa kepada penggunaan glukose dan proses lipogenesis. Karena peningkataan kebutuhan substrat dari janin sebagai suatu perkembangan kehamilan, peran fungsional hPL diperkirakan lebih bermakna dalam trimester kedua dan ketiga Baik radioimunoassay (RIA) dan tes inhibisi hemaglutinasi telah berkembang untuk mengukur jumlah hPL. 

3. Glikoprotein β1 kehamilan spesifik 
Hormon ini memiliki waktu paruh 21 – 60 jam, mewakili protein khusus lainnya yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas. Protein ini memiliki berat molekul 90.000 dan memiliki kandungan karbohidrat sebesar 29,3%. Segera setelah implantasi blastokis, hormon PSBG muncul dalam sirkulasi maternal dan memperlihatkan hubungan yang bermakna dengan kadar hCG dan hPL sepanjang trimester kedua dan ketiga (gbr. 25-2). Selama trimester kedua dan ketiga pola hPL dan sekresi PSBG berlanjut secara paralel sesuai dengan pertumbuhan massa trofoblastik. Secara fungsional PSBG telah dapat diuraikan. Tes inhibisi hemaglutinasi dan RIA dapat digunakan untuk mengukur protein ini. 
Dengan jelas ketiga protein yang digambarkan sebelumnya memenuhi syarat sebagai petanda trofoblastik dan karena itu dapat digunakan sebagai tambahan dalam mendiagnosis kehamilan. Pada kenyataannya, pemeriksaan hCG secara kualitatif dan kuantitatif menjadi dasar pemeriksaan kehamilan yang diakui saat ini. Penegakan diagnosis kehamilan merupakan hal yang penting dalam membedakan antara satu kehamilan ektopik dengan penyebab lain dari nyeri akut abdomen bawah. Penundaan yang didasarkan atas gejala klinik saja merupakan hal yang umumnya terjadi, dan morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan dengan keterlambatan waktu antara munculnya gejala dan penegakan diagnosis. Perkembangan sistem RIA yang sensitif dan cepat secara klinis berguna dalam penatalaksanaan terhadap masalah ancaman kehidupan yang potensial. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa lebih dari 90% wanita dengan kehamilan ektopik akan menghasilkan hCG dalam darah mereka ketika diukur dengan RIA β-subunit. Dua kelompok peneliti mengukur PSBG dengan RIA pada populasi penderita yang sama dan menemukan akurasi dalam tingkat yang sama. 
Braunstein dan Asch membandingkan nilai prediksi serum hCG, PSBG dan hPL yang diukur dengan menggunakan RIA dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Para peneliti memperlihatkan bahwa secara kuantitatif konsentrasi serum β-hCG maternal yang rendah lebih sensitif dalam deteksi keehamilan ektopik dibandingkan dengan konsentrasi PSBG yang rendah (gbr 25.3). Sebagai tambahan, pengukuran PSBG tidak membuktikan lebih berguna atau lebih benilai efektif dariapada pemeriksaan β-hCG. Satu penelitian awal telah memperlihatkan bahwa sensitivitas pada pemeriksaan hPL tidak cukup untuk mendeteksi jumlah hormon ini dalam serum ibu sebelum periode missed pertama. Tidaklah mengejutkan, Braunstein dan Asch menemukan bahwa pengukuran hPL tidak berguna dalam mendiagnosis banding suatu kehamilan ektopik, sejak konsentrasi yang tidak dapat dideteksi memberikan sedikit informasi selama awal kehamilan. 
Secara ringkas, pengukuran β-hCG serum atau urin dengan RIA memberikan konfirmasi yang sensitif dan spesifik dalam mengeluarkan suatu diagnosis kehamilan ektopik. 

III. Pemeriksaan gonadotropin dalam mendiagnosis kehamilan ektopik 
Penggunaan pemeriksaan hormon dalam kehamilan dimulai lebih dari 50 tahun yang lalu dengan melakukan pendeteksian terhadap hCG urin wanita hamil. Jadi, pemeriksaan ini menjadi memungkinkan untuk menentukan viabilitas dari ancaman terhadap kehamilan melalui kadar gonadotropin yang rendah atau adanya penurunan kadar secara serial jauh sebelum fungsi plasenta berhenti dan sebelum terjadi perdarahan uterus. Perkembangan berikutnya dalam tes kehamilan telah difokuskan pada perbaikan dalam sensitivitas, spesifisitas, kecepatan, dan simplisitas pemeriksaan, dan juga dalam hal pengurangan biaya pemeriksaan. Sejak kehamilan ektopik bertanggungjawab terhadap 11% kematian maternal di Amerika Serikat, tes diagnostik yang akurat dan cepat akan memberikan keuntungan yang bermakna bagi para dokter dan pasien. Sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan daripada kehamilan normal karena jaringan trofoblastik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Sebagai tambahan, karena kesamaan struktural antara LH dan hCG, sistem pemeriksaan dengan spesifisitas maksimum menjadi sangat penting dalam keadaan yang secara potensial mengancam kehidupan ini. 
Teknik Tes kehamilan yang telah berkembang dapat dibagi atas 5 kategori: 1. bioassay, yang menggunakan hewan intak, 2. metoda imunologi, yang menggunakan hemaglutinasi atau latex aglutinasi, 3. RIA, yang memerlukan radiolabeled hormone dan antiserum, 4. radioreceptor assay (RRA), yang memerlukan petanda hormon dengan aktivitas biologi dan reseptor spesifik, dan 5. enzyme linked immunoabsorbant assay (ELISA), yang menggunakan petanda hormon dan antiserum. Perbaikan dalam deteklsi hCG telah memungkinkan dengan melakukan purifikasi hormon ibu dan penguraian dari subunit α-nonspesifik dan hormon subunit β spesifik. Hormon glikoprotein manusia (LH, FSH, TSH, hCG) disusun dari dua subunit yang berbeda dan rantai yang nonkovalen. Subunit α disusun diantara hormon-hormon ini, tetapi komposisi asam amino subunit β berbeda secara bermakna. Informasi ini dibawa oleh subunit-β yang menunjukkan aktivitas hormonal yang spesifik yang diekspresikan dalam hubungan dengan Subunit- α. 

A. Bioassay pada binatang intak 
Generasi pertama dari tes kehamilan diuraikan pada tahun 1927 oleh Ascheim dan Zondek pada tikus, diikuti oleh Friedman pada kelinci dan kemudian oleh Frank dan Berman, dan oleh Kupperman dkk pada tikus. Bioassay ini dilakukan dengan cara menyuntikkan urin atau serum ke dalam tubuh binatang intak. Titik akhir dari pemeriksaaan ini adalah hipertrofi ovarium, hiperemis, dan perdarahan. Sistem ini memerlukan binatang dalam jumlah yang banyak, purifikasi parsial dari sampel, dan waktu penampilan dari beberapa hari sebelum hasil yang didapat memuaskan. Sebagai tambahan, penyakit yang tidak diketahui atau infeksi pada binatang tersebut dapat mempengaruhi akurasi dari tes-tes tersebut. Galli-Mainini mempersingkat dari waktu pemeriksaan dengan mengembangkan suatu bioassay yang menggunakan katak jantan. Penyuntikan serum atau urin yang mengandung hCG menyebabkan keluarnya sperma pada kloaka binatang dalam 1 sampai 5 jam. Biaya yang diperlukan dalam mempertahankan suplai bintang yang diperlukan membuat metode ini menjadi tidak praktis. Secara umum, pemeriksaan bioassay in vivo ini relatif tidak tidak spesifik, tidak sensitif, memerlukan banyak biaya, dan waktu. Konsekuensinya, sistem ini tidak digunakan dalam seri penentuan dari viabilitas trofoblastik. 

B. Metode imunologi 
Karena hCG merupakan hormon protein, maka hormon ini memiliki kemampuan untuk menimbulkan respon antibodi spesifik ketika disuntikkan kedalam tubuh binatang. Proses purifikasi yang cukup terhadap molekul hCG telah dicapai pada tahun 1060 sehingga satu serum anti hCG yang poten dapat dapat saja meningkat pada kelinci. Pada awal tahun 1970-an generasi kedua dari tes kehamilan dipersiapkan oleh penelitian yang dilakukan Wide dan Gemzel dan Brody dan Carlstrom. Para penulis ini, bekerja secara independen, mengembangkan tes hemaglutinasi dan aglutinasi lateks berdasarkan adanya pengikatan hCG ke sel-sel darah merah dan partikel-partikel lateks. Sensitivitas dari sistem-sistem ini berhubungan dengan bioassay dan menghasilkan keuntungan dengan performans yang sama, satu derajat reprodusibilitas yang tinggi, dan biaya yang rendah dan waktu yang singkat. Pemeriksaan imunologi were hindered, meskipun melaui adanya kesamaan struktur antara LH dan hCG. Sebagai konsekuensinya, sensitivitas tes ini menjadi rendah untuk menghindari positif palsu dalam identifikasi LH. Baik tes-tes kehamilan biologi dan imuniologi menghasilkan sensitivitas yang mencapai 500 – 1000 mIU/mL, dan kehamilan dapat dideteksi dengan akurasi sampai 95% pada 6 minggu setelah periode menstruasi terakhir (gbr 25-4). Sayangnya, sejumlah besar dari kehamilan normal awal (kurang dari 6 minggu), ancaman keguguran dan missed abortion, tumor-tumor trofoblastik, dan paling sedikit 50% dari kehamilan ektopik, kadar hCG-nya kurang dari 500 mIU/mL, tidak akan dapat dideteksi. 

C. Radioimmunoassay 
Dengan berkembangnya teknik RIA pada tahun 1968 dan kemampuan pemurnian yang tinggi dengan menggunakan radioisotop, pemeriksan yang lebih sensitif dapat dilakukan (ambang batas: 10 – 20 mIU/ml hCG). Peningkatan kadar hCG kira-kira dapat diukur sejak 12 hari setelah ovulasi dan mencapai puncaknya antara hari ke-45 dan ke-70. Sekali lagi, RIA menghasilkan nilai yang menjadi gambaran dari LH dan hCG sebagai akibat dari reaksi silang antara kedua glikoprotein ini. Generasi ketiga dari tes kehamilan diperkenalkan oleh Vaitukaitis dkk pada tahun 1972. Mereka melaporkan satu subunit β-hCG RIA yang memungkinkan pengukuran terpisah dari hCG dalam keberadaan LH. Hasil positif palsu encountered pada awal sistem pemeriksaan karena kesamaan struktur antara LH dan hCG dapat dihindarkan melalui pemanfaatan subunit β-hCG RIA. Perlu diperhatikan bahwa meskipun sebagian besar antibodi yang meningkat untuk melawan subunit β-hCG tetap dapat dideteksi hormon yang utuh, yang biasanya merupakan bentuk imunoreaktif utama yang mengalir dalam darah. Sensitivitas dari sistem ini cukup baik untuk membedakan hCG dari kadar LH pada fase folikuler dan fase luteal (ambang batas; < 5 mIU/mL hCG). Kehamilan ektopik atau kehamilan intrauteri dapat dideteksi pada sekitar usia kehamilan 8 – 10 minggu. Bagaimanapun juga, untuk waktu pemeriksaan yang cepat dan uintuk pemeriksaan serial, teknik ini tidak begitu praktis, sejak diperlukannya waktu inkubasi selama 36 jam. 
Untuk mengatasi masalah waktu inkubasi yang lama, sejumlah modifikasi diajukan. Pada awalnya, usaha untuk mengurangi waktu sering disertai dengan pengurangan sensitivitas, spesifisitas, dan reprodusibilitas. Beberapa sistem β-hCG RIA yang baru-baru ini dapat digunakan, menggabungkan derajat sensitivitas yang tinggi dengan performans yang cepat. Tes kualitatif RIA pada urin atau serum dapat membantu para dokter dengan hasil pemeriksaan yang didapat dalam 30 menit, dengan insidens negatif palsu kurang dari 2% (ambang batas: 20 – 50 mIU/mL). Sistem kuatitatif memerlukan waktu yang lebih banyak karena masa inkubasi memanjang tetapi dapat dicapai sensitivitas hingga 100% (ambang batas: <11,5 mIU/mL hCG). 

D. Radioreceptor assay 
Pada tahun 1974, Saxena dkk. Memperkenalkan RRA untuk pemeriksaan hCG yang mengukur molekul secara keseluruhan yang berbatasan dalam in vitro ke sisi reseptornya. Reseptor dalam membran plasma dari corpus luteum bovine menyediakan satu ikatan protein biospesifik untuk secara biologis molekul hCG yang aktif dan intak. Reseptor tidak mengenal subunit B-hCG. Satu keuntungan RRA dibandingkan RIA adalah waktu performans yang cepat. RRA dapat menjadi komplit dalam 1 jam dengan sensitivitas komparabel. Sedangkan kerugian utama dari sistem reseptor ini adalah ketidakmampuan untuk membedakan LH dari hCG. Berdasarkan hal ini, sensitivitas tes yang bersifat komersil dapat digunakan secara cepat telah adjusted ke tingkat yang cukup tinggi untuk mengeluarkan Konsentrasi LH yang normalnya ditemukan selama pertengahan siklus fase preovulasi LH surge dan tingkat konsentrasi LH yang tinggi ditemukan pada wanita postmenopause (gbr 25-4). Meskipun RRA memiliki sensitivitas yang inherent dapat dibandingkan dengan subunit β-hCG RIA (ambang batas: 1 – 5 mIU/mL hCG), yang sangat berguna bagi deteksi awal kehamilan ektopik yang dapat terganggu oleh interfering levels LH endogen. 

E. Enzyme-linked Immunoabsorbant Assay 
ELISA baru-baru ini merupakan satu prosedur tes kehamilan yang sangat populer. Satu antibodi monoklonal yang spesifik dibuat oleh teknologi sel hibrid is employed. Satu enzim (daripada satu campuran radioaktif, seperti pada RIA) mengidentifikasi antigen suatu substansi yang diukur. Reaksi perubahan warna yang sederhana dipacu oleh enzim, yang dapat interpretasikan dengan mata atau spektrometer, merupakan titik akhir dari tes ini. Ambang batas dari detreksi hCG dilaporkan berada dalam rentang 25 – 50 mIU/mL. Peranan ELISA, sebagai tes skrening awal dalam membedakan antara kehamilan ektopik dan keadaan akut ginekologi lainnya yang telah diteliti. Pada pertengahan tahun 1970-an bioassay in vitro dikembanghkan berdasarkan produksi testosteron oleh sel-sel interstisial tikus dalam respon terhadap perangsangan LH atau hCG. Sistem ini sedikit tidak praktis, sesitivitas yang tinggi dan determinasi yang akurat dari aktivitas gonadotropin dibandingkan terhadap bioassay in vivo yang lebih awal. Modifikasi terbaru dari sistem ini menghasilkan satu pemeriksaan hCG dengan ambang batas 0,065 mIU/mL. 

Meskipun pola sekresi dari bioassay hCG selama kehamilan telah ditemukan sama dengan pola hormon imunoasssay, konsentrasi dari pembentuk biasanya lebih besar dibandingkan yang diukur kemudian. Penjelasan mengenai pengamatan ini masih kabur. Telah diusulkan, meskipun, bahwa perbedaan antara bioaktivitas dan imunoaktivitas hCG dalam serum mungkin disebabkan oleh perbedaan alami dari sisi conformation hormon yang dikenali oleh sel target dan antisera, masing-masing. Perbedaan ini secara klinik tidak bermakna dalam setting dari satu kemungkinan kehamilan ektopik. Lebih kurang 24 jam diperlukan untuk melengkapi bioassay sensitif exquisitely ini. Sebagai gambaran dari waktu performans yang panjang dan availabilitas yang terhambat, teknik ini akan menyisakan satu alat penelitian yang bernilai tetapi tidak disukai sebagai suatu metode yang praktis dalam tes kehamilan. 
Sebagaimana yang telah ditunjukkan lebih awal, kejadian dari laju sekresi subunit hCG yang tidak seimbang selama kehamilan meyediakan satu rasionalisasi bagi pengamatan terhadap kedua subunit α dan kadar hCG dalam gangguan obstetrik dan ginekologi. Barnea dkk. Mengusulkan bahwa kadar α-hCG merupakan tanda yang sensitif bagi kesejahteraan plasenta pada awal kehamilan. Dalam pertunjukan retrospektif, mereka mengukur α-hCG dengan RIA dalam sampel serial dari 38 wanita dengan kehamilan ektopik yang terbukti secara histologi dan 27 wanita dengan kehamilan intrauteri. Penulis ini memperlihatkan bahwa peningkatan dalam α-hCG antara 5 – 10 minggu secara bermakna lebih tinggi pada kelompok former 7 kali vs 0,6 kali). Telah dianggap bahwa terjadi kerusakan dalam kemampuan dari trofoblas yang berimplantasi ektopik untuk mensintesis β-hCG tetapi bukan α-hCG. Konsekuensinya, α-hCG meningkat dalam hCG yang low intact, fungsi trofoblas yang aberans mungkin pertama-tama ditandai oleh peningkatan kadar α-hCg. Pengukuran α-hCG dalam hubungan dengan determinasi hCG dapat dibuktikan dengan baik menjadi alat diagnostik yang bernilai dalam evaluasi awal kehamilan. 

IV. Kombinasi penggunaan ultrasonografi dan pemeriksaan kuantitatif gonadotropin korionik manusia subunit β Pemeriksaan ultrassonografi pada pelvis digunakan secara luas untuk menilai secara klinis pasien-pasien yang dalam keadaan stabil diduga menderita kehamilan ektopik. Sulit sekali untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik yang positif dengan ultrasonografi, meskipun begitu ultrasonografi sering lebih efektif dalam mengeluarkan diagnosis ini melalui memperlihatkan suatu kehamilan ynag intrauteri. Kadar dkk. Bekerja dengan ultrasonografi gray-scale dengan satu pemeriksaan kuantitatif RIA terhadap β-hCG dan menemukan bahwa kantong kehamilan dari suatu kehamilan normal menjadi dapat dideteksi apabila kadar hCG diatas 6000 – 6500 mIU/mL (Tabel 25-1). Penemuan mereka menunjukkan bahwa dengan tidak ditemukannya kantung kehamilan intrauteri, nilainya menjadi rendah untuk dapat dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis. Satu kantung kehamilan intrauteri, meskipun diperlihatkan dalam hubungan dengan nilai hCG yang dibawah zona diskrimatory menunjukkan kecenderungan yang tinggi terjadi kehamilan yang abnormal. , yaitu missed abortion atau kehamilan ektopik (tabel 25-2). Lebih jauh lagi, dengan tidak adanya kantung kehamilan intrauteri, nilai hCG yang melebihi zona diskriminatory memberi kesan suatu kehamilan ektopik. 
Kerja tambahan yang dilakukan kelompok-kelompok peneliti ini adalah mengantarkan penggunaan determinasi hCG kuantitatif serial dalam penilaian terhadap pasien-pasien yang stabil. Telah diperlihatkan oleeh peneliti lain bahwa angka positif palsu paling sedikit 20% dapat diharapkan apabila satu kehamilan ditetapkan sebagai kehamilan yang abnormal atas dasar satu nilai hCG, bahkan apabila tanggal ovulasi diketahui. Kadar dkk. Menemukan bahwa 85% atau lebih dari kehamilan normal, kadar hCG serum meningkat sedikitnya 66% dalam masa 48 jam. Dengan menentukan persentase peningkatan hCG diatas 48 jam, laparoskopi selektif dapat dikerjakan pada wanita-wanita yang mengalami penurunan atau peningkatan yang subnormal dari kadar hCG. Kerugian dari pendekatan ini adalah bahwa pembedahan akan tertunda sampai batas 48 jam pada 13% pasien dengan kehamilan ektopik. Penundaan ini tidak indefinite, meskipun. Sekali serum hCG melampaui 6500 mIU/mL, pemeriksaan ultrasonografi ulangan akan memperbaiki diagnosis. 
Penanganan pada pasien yang diduga menderita kehamilan ektopik dengan kondisi yang stabil memerlukan tes kehamilan yang sensitif dan kuantitatif. Sensitivitas dari pemeriksaan membantu dokter dalam mengeluarkan diagnosis apabila hasil yang didapat negatif. Ultrasonografi merupakan alat yang bernilai diagnosis tinggi apalagi dikombinasikan dengan pemeriksaan kasar hCG kuantitatif. Pemeriksaan serial memberikan para dokter satu alternatif untuk pembedahan ketika diagnosis tidak dapat ditegakkan secara ultrasonografi dan ketika parameter lainnya seperti pemeriksaan fisik, kuldosintesis, dan kadar hematokrit, tidak mengizinkan intervensi segera. 


V. PENATALAKSANAAN 
A. Pembedahan 
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2. reseksi segmental. Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba. 

1. Salpingotomi linier 
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. 
Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hati-hati dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa. 
Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. 
 Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan. 

2. Reseksi segmental 
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnification atau mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan. 
3. Salpingektomi 
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitoniumj yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. 
Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan  menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum. 

B. Medisinalis 

Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan. 
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. 
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. 
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG  berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. 
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+). 

VI. RINGKASAN 
Kehamilan ektopik adalah setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester pertama. 
Tempat tersering mengalami implantasi ekstrauteri adalah pada tuba Falopii (95%). Secara endokrinologis tuba dipengaruhi hormon steroid ovarium, yaitu yang paling menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4). Hormon steroid ovarium ini mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik, perubahan dalam sintesis prostaglandin, dan pengaruh langsung pada myosalping. 
Saat ini telah dikembangkan pemeriksaan kehamilan yang sensitif dalam mendiagnosis kehamilan ektopik. Ada tiga hormon protein yang dapat dipakai untuk mendeteksi suatu kehamilan dan dapat dipakai dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Dalam hal ini sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan karena jaringan trofobalstik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Pengembangan selanjutnya lebih ditujukan pada pendeteksian kadar hCG baik dalam urin atau serum. Beberapa teknik pemeriksaan kehamilan yang telah berkembang adalah bioassay, metoda imunologi, RIA, RRA, dan ELISA. Kombinasi pemeriksaan kehamilan  dengan ultrasonografi memberikan nilai diagnostik yang tinggi sehingga diagnosis suatu kehamilan ektopik dapat cepaat ditegakkan. 
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan USG transvaginal memudahkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Dengan diagnosis dini tersebut maka penatalaksanaan kehamilan ektopik telah bergeser dari mengurangi mortalitas menjadi mengurangi morbiditas dan mempertahankan fertilitas. Diagnosis dini ini memungkinkan kita melakukan penatalaksanaan ekspektatif atau pembedahan konservatif pada pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu. Dalam hal ini kemoterapi dengan methotrexate menjadi pilihan terapi untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu. 

VII. RUJUKAN 
1. Damario MA, Rock JA. Ectopic pregnancy. In: Rock JA, Thompson JD. Te Linde’s operative gynecology. 8th ed. Philadelphia: Lippincot-Raven, 1997: 501-527 
2. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic pregnancy: Clinical gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1999: 1149-1167 
3. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Endocrinology of pregnancy: Clinical gynecologic endokrinology and infertility. 6th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1999:275-335 
4. Doyle MB, DeCherney. Diagnosis and management of tubal disease. In: Carr BR, Blackwell RE. Textbook of reproductive medicine. 1st ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1993:507-516 
5. Symonds EM. Complication of early pregnancy: abortion, extrauterine pregnancy and hydatidiform mole. In: Essential obstetric and gynaecology. 2nd ed. Churchill Livingstone,1992: 88-92 
6. Hutchinson-Williams KA, DeCherney AH. The endocrinology of ectopic pregnancy. In: Endocrine disorders in pregnancy. 3rd ed. Connecticut: Appleton & Lange, 1986:437-450 
7. Chung pun T. Ectopic pregnancy. JPOG 2001;27:17-20 
8. Basuki B, Saifuddin AB. Ectopic pregnancy and estimated subsquent fertility problems in Indonesia. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia 1999;23:212-218 
9. Basuki B. Duration of current IUD use and risk of ectopic pregnancy. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia 1999;23:82-87 
10. Jaffe RB. Protein hormones of the placenta, decidua, and fetal membranes. In: Yen SSC, Jaffe RB. Reproductive endocrinology. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders,1986: 758-769 
 11. Stovall TG, McCord ML. Early pregnancy loss and ectopic pregnancy. In Berek JS, Adhasi EY, Hillard PA. Novak’s gynecology. 12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1996: 487-524 
12. Taber BZ. Manual of gynecologic and obstetric emergencies. Philadelphia: WB Saunders Company,1979:311-333 
13. Levine D. Ectopic pregnancy. In: Callen PW. Ultrasonography in obstetric and gynecology. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.,2000: 912-934 
14. Barnhart K, Esposito M, Coutifaris C. An update on the medical treatment of ectopic pregnancy. In: Current reproductive endocrinology. Obstet and Gyn Clin of North America 2000;27: 653-667 
15. Kadar N, Caldwell BV, Romero R. A method of screening for ectopic pregnancy and its indication. Obstet Gynecol 1981;58: 162 
16. Aspillagra MO, Whittaker PG, Grey CE, et al. Endocrinologic events in early pregnancy failure. Am J Obstet Gynecol 1983;147:903 





Tidak ada komentar: